Ini sekedar cerita, memang cuma
beberapa paragraf aja. Ini cerita, seorang cewek cantik yang menjadi primadona,
selalu dipuja meski ia terbukti salah. Dia diagungkan banyak pria,
sampai-sampai “kentutnya” aja menjadi nuansa. Anda semua tak perlu tau namanya,
biar tidak menimbulkan fitnah dan memproduksi banyak dosa.
Gadis ini berhidung mancung,
kulitnya putih, dan rambutnya panjang lemah terurai. Kalau ia sedang duduk,
terlihat sangat anggun. Saat dia berjalan seperti melihat selebriti, tapi sayang,
bicaranya sepanas aspal jalanan.
Aku bangga sudah dipertemukannya, ratu
cantik secantik Dora dan baik sebaik Berbie. Oh ya, temanku yang satu ini juga
seorang pedagang. Barang dagangannya bernilai milyaran rupiah. Kalau
dipikir-pikir, tak akan ada orang yang sanggup membeli barang dagangannya itu.
Disitu aku mulai heran, sempat aku bertanya dalam hati “Kenapa dia mau menjual dagangannya
itu dengan murah ?”. Mungkin miris ketika mendengar, “Harga diri adalah barang
dagangannya !”
Awalnya aku cuek, maka dari itu aku
cuma melihatnya dari jauh. Namun semua berbeda saat aku bertemu dengannya,
malam hari di sepanjang jalan daerah persawahan. Sengaja aku tidak menyapa,
bertingkah cuek dan sok keren. Malam itu sangat sunyi, gemuruh angin
melambaikan rimbunnya padi menjadi irama yang menyejukkan hati. Tak lama
berselang, disaat aku mulai bosan, ku beranikan diri untuk menyapanya, aku
sangat gugup, tapi rasa gugup itu ku coba pendam. “Kapan lagi bisa berbicara
dengan Ratu sekolah”, bisikku dalam hati. Saat ku mau menyebut namanya,
tiba-tiba datang seorang pria setengah baya dengan CBR gagah dibawanya.
Harapanku pun pupus saat itu. Tak kehilangan akal, aku mencoba mencari cara
lain, dengan sebuah sepeda fixie jadi-jadian, ku gayuh sepeda secara berlahan
tuk mengikuti cewek cantik si ratu tersebut.
Sepeda lawan CBR, entah kenapa aku
sampai kehilangan akal. Aku tidak berpikir panjang, mana bisa sepeda melawan
CBR. Agggh... Betapa bodohnya aku. Setelah itu, akupun menggayuh sepeda tanpa
arah dan tujuan. Di tengah perjalanan malam tersebut, tanpa sengaja ku lihat
CBR yang menjemput si Ratu.
Masih di pinggiran sawah, disebuah
kost yang berdampingan dengan warnet. Disana ku melihat dia sedang bercengkrama
dengan pria setengah baya tadi. Aku tak habis pikir, kenapa sih dia mau jalan
sama orang yang sudah berkepala 3 itu, tapi rasa heran itu aku pendam dan
kurubah pola pikirku menjadi lebih positif. Aku anggap saja pria yang
bersamanya itu adalah pamannya, dan langsung ku tinggalkan mereka berduaan.
Seesoknya disekolah, sang ratu
tersebut tampak murung. Dia tampak lesu, tampaknya banyak masalah di kepalanya.
Tapi anehnya, dia berjalan ke arahku dan malah duduk di sampingku. Dengan gaya
refleka aku berkata, “Hay…”. Eh… tak
disangka dia malah menangis. Aku bertanya-tanya, kenapa dia menangis ? apakah
aku salah saat menyapanya ? ku coba mengetahui alasan kenapa ia menangis.
Selang beberapa saat dia berkata,
“Hay juga,… kamu orang yang kemarin
ketemu aku di sawah itu kan ? maaf ya
aku menangis, hari ini aku sangat sedih. Sekaran aku gak punya tujuan hidup,
semuanya sudah hancur, bahkan sekarang aku gak punya lagi masa depan cerah.
Ahhh…. “, dengan nada sedih dia menyucurkan air mata sambil menulis diselembar
kertas.
Dia mencerikan kepadaku melalui
kertas itu, tanpa ragu ia menceritakan semua hal yang telah dia alami selama
ini. Aku gak tau mengapa ia menceritakannya padaku. Lembaran itu bercerita, “Mungkin banyak orang yang terlalu
membanggakan kecantikannku, banyak juga pria yang terlalu mengagungkanku,
menyiuliku setiap saat, menggodaku sepanjang waktu, bahkan ada juga yang rela
memberikan segalanya padaku. Bukannya aku tak suka, tapi semua itu malah tidak
membantuku. Kedua orang tuaku sudah lama bercerai, sekarang aku hanya tinggal
bersama adikku, dia masih kecil, usianya baru 3 tahun. Bapak ibuku telah
mendapat istri dan suami lagi, mereka meninggalkan kita, sendiri dalam malam
maupun pagi. Aku coba bertahan hidup, tak ada satu saudarapun yang membantu. Aku
mencoba mencari kerja, tapi tak ada orang mau memberikan. Aku putus asa, aku
tak tau mau bagaimana lagi, akhirnya akupun menjadi seperti yang kau lihat
kemarin. Yang kemarin kau lihat bukan paman ataupun saudaraku, dia adalah pria
hidung belang yang sengaja menyewaku, aku malu, sungguh aku malu padamu.
Mungkin ini lucu, aku bercerita padamu, padahal kamu tidak mengenalku. Memang
sih aku tidak mengenalmu, tapi aku tau kamu. Kamu itu baik, siapa sih orang
yang gak tau kamu, remaja masjid sekaligus ketua Pramuka. Kamu tau gak, aku
sangat ingin mempelajari agama. Harap-harap kamu bisa mengajari aku. Aku sudah
capek menjual harga diri, berpakaian minim berboncengan dengan pria setengah
baya. Kemarin di persawahan, sebelum diajak pria itu, aku mendengar suaramu
mengaji, suaramu membuatku menangis, apalagi saat kemarin kau melihatku.
Sungguh aku tak tau, betapa hinanya diriku dimatamu. Sebenarnya bukan uang
ataupun kasih sayang, tapi aku lebih menginginkan sebuah ketaatan pada sang
Kuasa. Karena seperti yang dikatakan nenek sebelum meninggal dulu, Allah akan
selalu membantu orang-orang yang dekat padanya…“.
Melihat ceritanya, rasanya aku ingin
menangis. Disisi lain aku juga kagum, dia mampu bertahan dalam kondisi yang
sedemikian rupa. Aku juga heran ternyata masih ada gadis yang memperhatikannku,
dia mengingatkanku pada wanita masa kini. “Mereka masih mempunyai kedua orang
tua yang sangat sayang pada mereka, tapi dengan bangga mereka malah berpacaran,
mengucapkan sayang pada pacar mereka, padahal mereka masih pacar bukan suami
istri. Banyak juga yang keluar malam, berpakaian minim agar dilihat banyak
lelaki. Sebagian dari mereka juga rela bertukar ludah dari mulut ke mulut, dan
mengatakan itu sebuah kebebasan. Masa
muda jangan disia-siakan, banyak gadis yang berpendapat demikian. Dan
setelah mereka putus, dia hanya bisa berpuisi, semua pria jahat ! habis manis sepah dibuang”, celotehku dalam
hati. @31814
0 Komentar